Subhanallah!! indahnya cakrawala pagi. Warna pink dan jingga bercampur digaris bumi, sementara dibawah pesawat ini awan biru gelap berarak bagai tirai memayungi bumi. Bintang-bintang diatas masih berkedip bersiap meninggalkan alam malam. Hening dan damai diluar sana. Subhanallah. manusia mana yang sanggup menciptakan seperti ini. Aku begegas mengambil camera dari tas pinggangku dan membidik keluar sana.
Selesai lima jepretan, aku kembali kekursi tengah dimana aku duduk. Menyelipkan kembali kamera kedalam tas pinggang, menyalahkan lampu baca diatas kepala dan membuka catatan harian dari dikantong kursi didepan. Ketika aku akan memulai menulis, seorang nona pramugari Jepang yang melewati gang menghampiriku.
"Is your sister Ok?" Tanya si nona dengan sedikit aksen Jepangnya.
"Yes maam, she enjoys this flight"
"Good. These are children books in case she wants to read". Kuambil 3 buku dari tangan pramugari.
"Thanks maam"
"Your welcome"
"Can I have a newspaper maam?"
"Sure. Which one you want?".
"Anything".
Nona pramugari berjalan ke belakang pesawat. Kuletakkan buku ke kantong kursi dan meneruskan tulisanku .
Saat subuh seperti ini adalah saat favoriteku dalam sebuah penerbangan. Saat sebagian penumpang masih terlelap dan lampu diredupkan. Hening, damai.Kenikmatan ini bertambah selepas melakukan shalat subuh. MashaAllah. Pelengkapnya tentu ketika sarapan ditawawarkan. Mash potato atau scramble egg. Mmm. Perjalanan dengan pesawat terbang adalah asli sebuah petualangan walau tidak sehebat Tintin atau Indiana Jones.
"Jam berapa da Alam?". Kata Athaya yang baru saja bangun dari tidurnya. Matanya masih terpejam. Ku lihat jam tanganku.
"6 pagi. Thaya mau shalat subuh?" Athaya mengangguk. "Thaya juga mau pipis".
Aku gandeng adiknya menuju toilet. Aku berpapasan dengan nona pramugari Jepang tadi dan kuminta surat kabar itu diletakkan di kursiku.
Satu jam berlalu. Aku membaca berita mengejutkan pada halam muka The Washington Post. Lima pimpinan Islamic Center di Amerika menghilang. Demonstrasi damai para Muslim didepan Washington Capitol menuntut pemerintah untuk lebih serius mencari dimana mereka berada. Ada empat berita tentang Islam dikoran ini. Satu tantang penculikan pimpinan Islamic Center, selebihnya tidak jauh dari ancaman Islamic teroris. Lagi-lagi. MashaAllah!. Islamic terori Islamic Teroris. Sesak terasa nafas ini.
Athaya disampingnya sibuk menyentuh layar monitor dengan jarinya. Tiga film terbaru untuk anak-anak sudah ditontonnya selama diperjalanan tadi. Habis. “Tinggal filem Om-Om” Katanya. Untuk Thaya, ini istilah film PG 13 keatas. Ia akhirnya memutuskan untuk membuka buku pemberian ibu pramugari. "Thumbelina, Cinderella, Pinocchio, this is for baby!". Keluh Thaya. Aku tertawa geli. Siapa yang menyangka kalau anak berumur enam tahun sudah menamatkan semua seri Harry Potter dan tiga buku The Lord of The Ring?. Lagi pula tak ada satupun dari serial yang dibaca itu berbahasa Indonesia. “Aku gak mau baca terjemahan. Bahasanya aneh”. alasannya. Ia menatap keluar jendela menikmati arak-arak awan diatas lautan biru. Ia kemudian duduk kembali. Berpangku tangan. Melihat udanya yang konsen dengan korannya. Memperhatikan Ibu2 yang sedang tertidur disamping kiri ku. Berlutut diatas korsi dan memperhatikan para penumpang yang sedang terlelap dibelakangnya. Duduk lagi. Menarik nafas.
“Da Alam aku mau kebelakang” . Kata Thaya tiba-tiba sambil membenarkan jilbabnya.“Lho kan tadi udah”
“Mau bicara sama bu pramugari”
“Ya sana. Tapi jangan minta mengganggu ya”.
Athaya berjalan kebelakang kapal. Lima menit kemudian kembali dengan majalah TIMES dan NEWSWEEK ditangannya. Alam tersenyum melihat tingkat adiknya.
"Better than not reading at all" kata Thaya.
Athaya Salsabila nama Adikku ini. Merengek berhari-hari untuk bisa ikut udanya. Mengurungkan diri dikamar mandi dan mengkoncinya dari dalam. “Aku buang koncinya ke dalam bak mandi!” teriaknya dari dalam. Tapi usaha ini gagal setelah ummi membukanya dengan kunci cadangan. Ia kemudian mengancam untuk kabur dari rumah. Diisikannya baju-baju kedalam kantong plastik dan berjalan kedepan pintu. Tapi ia kemudian berbalik dan berdiri mematung. “Aku gak ada uang untuk naik taksi” katanya. Aksi selanjutnya, mogok makan. Mulutnya ditutup rapat. Dipalingkan kepalanya kekiri dan kanan ketika ummi mencoba menyuapkan sop ayam. Dari pagi, siang sampai sore. Semakin Athaya teguh dengan prinsipnya, semakin frustasi ummi dibuatnya.
“Alam! Bantuin ummi donk. Ini bagaimana dari pagi gak makan”.
Aku punya ide yang kuanggap cemerlang. Jam tujuh malam, datanglah pizza yang sudah kami pesan. Aku berteriak “Wow ummi, ada pizza…mmmm enaaak!!”. Ummi menjawab “woow kita habiskan ya uda Alam”. Kami menunggu respon. Berharap semoga pancingan mengena. Maklum, Athaya terobses dengan pizza. “Waa Thaya diabisin ya” aku berteriak lagi. Yang ditunggu tidak juga datang. Khawatir, akhirnya perlahan aku datangi kamar adikku. Dia tidak ada disana. Dikamarku juga tidak ada. Ummi resah. Kami berteriak memanggil namanya. “Coba cari dikamar Ummi” usulku. Kami berlari kekamar ummi. Disana terdengarlah jawaban.
“Aku disini!!” teriak Thaya. Suara itu jelas terdengar dari dalam lemari pakaian ummi.
“Athaya didalam lemari?”
“Iya. Aku kunci dari dalam dan serapnya aku pegang”.
Aku tertawa terpingkal-pingkal sementara ummi bertolak pinggang dan menggelengkan kepalanya. "Masya Allah! anak ini!". keluh ummi mencoba menahan tawa.
"Dari pagi dia belum makan Lam" Bisik ummi "Sekarang dia bisa kehabisan oksigen didalam sana".
Aku masih menahan geli dan mataku berair karena tawa. Aku kemudian duduk ditepian tempat tidur. Berfikir untuk mencari pemecahan.
“Menurut ummi kalau Thaya ikut bagaimana?” Tanyaku sambil menyeka air mata.
“Kita kan sudah diskusikan Lam? kamu itu akan sebulan disana. Kamu juga sibuk. Sementara kamu pergi, siapa yang menjaga Thaya di rumah om Matthew? Nancy juga nggak bisa terus dirumah. Dia harus kesekolah. Kamu tau kan, anak ini nggak mau diam”.
“InshaAllah nanti Alam akan coba atasi apapun yang terjadi. Pengalaman disana akan menambah wawasan dia. Moga akan jadi pengalaman yang tak terlupakan untuk dia”.
Ke khawatiran jelas terlihat dari wajah ummi. Berkali-kali beliau menarik nafas.
"Dia baru enam tahun Lam".
"Haha ummi kayak gak tau aja. Kadang toh dia seperti anak 20 tahun berbadan kecil".
“Kamu yakin bisa pegang dia?”
“InshaAllah ummi”. Ummi berfikir lagi.
“Ya sudah. Jaga tanggung jawab kamu”.
Ku peluk ummiku “Ma kasih ummi!!”
“Ya ya. Besok kita ke kedutaan Amerika”.
----------------------
O'hare Airport Chicago
Pesawat Japan Airlines Boeing 773 mendarat di O'hare Airport Chicago jam 8 pagi. Sebelum merapat pada belalainya, si nona pramugari Jepang meminta aku dan Thaya menunggu sampai semua keluar. Setelah interior pesawat kosong dari penumpang, si Nona memberikan sebuah kotak bercap JAL berikatan pita merah pada Thaya.
"Thank you maam" Kata Thaya pelan sambil memandang kotak ditangannya. "Can I open it now?" Lanjutnya.
" Sure. You need my help?" Jawab si nona sambil berlutut pada kaki kirinya hingga kepalanya hampir sama tinggi dengan Athaya.
"It's okay. I can do it". Athaya meletakkan kotak itu keatas kursi dan membuka perlahan pita yang melibatnya. Dua nona pramugari lain mendatangi mereka.
"ooooh Teddy Bear!" Athaya memeluk boneka itu. Ia mendatangi dan memeluk si nona. "ooo how sweet" suara para pramugari serentak.
Saat setelah melewati pintu pesawat, tak satupun diantara nona dan bapak awak cabin yang luput dari pelukannya.
"That little girl reading Newsweek". Aku medengar mereka berbisik. "Really?".
"Athaya... sweet but stubborn. My unique sister." Kataku tersenyum memandang Adikku ini.
Tidak salah memang kalau Chicago Airport ini mendapat predikat bandara tersibuk kedua sedunia. Sepagi ini kerumunan manusia tidak ubahnya pasar malam. Lalu lalang kesana kemari sibuk dengan urusan masing-masing. "Athaya, stick with me okay? jangan lengah" kataku. Aku menghentikan langkah. "Bonekanya uda masukkin kedalam ransel ya". Athaya mengangguk tanpa bicara. Kepalanya berpaling kekiri dan kanan memperhatikan manusia-manusia yang melewati mereka. Alam melepas ransel,memasukkan boneka kedalamnya dan memakainya kembali. "Ayo pegang yang kuat tangan uda". Mereka berjalan diantara ratusan manusia.
Ada sepuluh orang mengantri didepan kounter Japan Airlines. Kami menempati diri pada deretan terakhir.
"To Florida sir". Kataku menyerahkan boarding pass. Bapak ini berwajah Amerika, berambut kuning tapi tag didadanya terbaca Ahmad. Interesting.
Tidak beberapa lama, pak Ahmad menerangkan nomor gate yang harus dituju. Untuk kesana, kami harus menaiki Airport Transit System (ATS) semacam bus yang mengantar penumpang dari satu tempat ke yang lainnya di dalam area bandara. "American Airlines will wait you there" sambung si bapak.
"Thaya, boarding jam 10:15 . Ada waktu satu setengah jam untuk jalan-jalan"
"You know where we'll go."
"yeah, gak salah lagi". kami mencari toko buku.
Jam 10:20 pagi, pintu untuk boarding dibuka. Setelah melewati kounter, kami berjalan memasuki belalai penghubung. Kuberikan kepingan boarding pass pada pramugari American Airlines yang menyambut para penumpang di pintu pesawat.
"To the left my boy....Oh hi sweety. Want something to read?" Kata pramugari pada Athaya.
"No thank you maam. I have it alot in my uda Alam's bag" jawab Athaya tersenyum.
"ow okay. Enjoy your flight honey".
"Thank you maam" kata Athaya mengikuti udanya.
20 menit kemudian, pesawat meninggalkan O'hare international Airport. Aku rekam semua kejadian kedalam diaryku. Berapa lama perjalanan kita? hmmm.... Jakarta. Sukarno-Hatta, Narita Tokyo, O'hare Chicago, Florida. 28 jam.Subhanallah.
Athaya tak dapat menunda untuk melahap bukunya. Korban pertama, The Life of Pie karya pengarang Canada Yann Martel. Satu dari empat buku yang dibelinya.
Florida, here I come.